News Photo

Ancaman Senyap Laba Bank Daerah

JAMBI, JAMBIEKSPRES.CO.ID - Kebijakan pemerintah menempatkan dana Rp200 triliun di bank-bank Himbara untuk memperluas kredit produktif memang tampak progresif di permukaan. Tujuannya jelas, mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional dengan memperbesar pembiayaan bagi sektor riil, UMKM, dan proyek strategis. Namun di balik niat baik itu tersembunyi ancaman senyap yang mengintai keberlanjutan Bank Pembangunan Daerah (BPD) di seluruh Indonesia.

Dengan limpahan dana murah dari negara, bank-bank Himbara kini memiliki keleluasaan menurunkan suku bunga kredit, memperluas jaringan layanan, dan menembus segmen pasar yang sebelumnya menjadi andalan BPD: usaha kecil, koperasi, serta korporasi daerah. Kondisi ini menciptakan kompetisi yang tidak seimbang karena Himbara menikmati sokongan likuiditas dari pemerintah pusat, sementara BPD harus bertahan dengan sumber dana terbatas dari simpanan pemerintah daerah yang justru tertekan akibat menurunnya transfer pusat dan dana bagi hasil. Di satu sisi, BPD dituntut tetap menjadi motor ekonomi daerah, tetapi di sisi lain daya dorongnya kian melemah oleh desain kebijakan yang tidak berpihak.

Padahal, posisi BPD sangat strategis dalam menopang ekonomi lokal. Data Asbanda mencatat dari total laba BUMD tahun 2023 sebesar Rp24,39 triliun, lebih dari separuhnya, yakni Rp13,86 triliun, disumbangkan oleh 27 BPD. Hingga September 2024, aset agregat BPD sudah menembus Rp1.038 triliun dengan laba Rp10,20 triliun, dan bila diproyeksikan hingga akhir tahun, angkanya mendekati Rp13,6 triliun. BPD Bali misalnya mencatat laba Rp878,47 miliar, tumbuh 19 persen dibanding tahun sebelumnya, sementara Bank Jatim meraih laba Rp1,281 triliun dengan penyaluran kredit mencapai Rp75,3 triliun. Angka-angka ini membuktikan bahwa BPD bukan lembaga pelengkap, melainkan pilar utama dalam mendukung pembangunan dan kemandirian ekonomi daerah.

Namun capaian itu kini berada di ujung tanduk. Bila Himbara berhasil menyerap sebagian pangsa pasar kredit BPD, dampaknya akan sangat terasa. Setiap penurunan 10 persen pangsa pasar kredit dapat memangkas laba nasional BPD sekitar Rp1,36 triliun. Jika pangsa hilang 20 persen, kerugiannya bisa mencapai Rp2,72 triliun, dan dalam skenario terburuk 30 persen, laba BPD berpotensi anjlok hingga Rp4,08 triliun. Ini bukan sekadar angka, melainkan potret melemahnya daya dorong ekonomi lokal yang bersumber dari perbankan daerah.

Bank Jambi menjadi contoh konkret bagaimana tekanan itu mulai terasa. Pada 2024, laba Bank Jambi tercatat Rp361,26 miliar. Kondisi banjir dana bank Himbara bagi Bank Jambi tidak bisa dianggap sekadar dinamika bisnis biasa, melainkan sinyal pergeseran struktural di tengah kompetisi yang makin ketat. Dengan laba riil sekitar Rp315–320 miliar, kehilangan pangsa pasar kredit sebesar 10 persen saja berpotensi memangkas laba Rp31–32 miliar. Jika pelemahan mencapai 20 persen, kerugiannya bisa menembus Rp63–64 miliar, dan bila mencapai 30 persen, tekanan terhadap laba bisa sebesar Rp94–96 miliar. Dalam konteks bank daerah dengan kapasitas terbatas, tekanan ini amat berat dan berpotensi mengganggu fungsi strategisnya dalam menopang ekonomi daerah.

Dua tekanan besar kini menghimpit BPD secara bersamaan: ekspansi agresif Himbara yang diguyur dana murah dari pemerintah dan berkurangnya transfer fiskal pusat yang mempersempit sumber likuiditas daerah. Kombinasi keduanya membuat BPD berada pada posisi sulit. Padahal, selama ini BPD dikenal sebagai bank yang paling dekat dengan UMKM, koperasi, dan masyarakat kecil yang sering luput dari perhatian bank besar. Jika BPD kehilangan kemampuan untuk menyalurkan kredit secara efektif, maka denyut ekonomi daerah perlahan akan melemah.

Kebijakan dana Rp200 triliun seharusnya tidak seluruhnya terkonsentrasi di Himbara. Pemerintah perlu membuat skema afirmatif yang juga menyertakan BPD agar persaingan tetap sehat dan tujuan pemerataan ekonomi benar-benar tercapai. Sebagian dana tersebut dapat ditempatkan di BPD dengan syarat digunakan untuk pembiayaan produktif di sektor riil lokal, bukan hanya konsumsi. Pemerintah daerah juga perlu memperkuat permodalan BPD melalui penyertaan modal atau relaksasi dividen, sementara pusat dapat memberikan insentif fiskal bagi BPD yang berkontribusi pada proyek strategis daerah.

Selain itu, BPD harus berbenah melalui transformasi digital dan kemitraan strategis. Sinergi antara BPD dan Himbara perlu diatur dalam pola kemitraan yang saling menguatkan, bukan mematikan. Pemerintah dapat mendorong model matching fund di mana setiap ekspansi kredit Himbara di daerah diimbangi kerja sama dengan BPD setempat agar terjadi transfer pengetahuan, teknologi, dan akses likuiditas.

Keadilan dalam sistem keuangan nasional bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga tentang keberlanjutan dan kemandirian daerah. Jika kebijakan hanya berpusat pada penguatan bank-bank besar tanpa memperhatikan kapasitas BPD, maka yang terjadi adalah sentralisasi ekonomi ke tangan segelintir lembaga keuangan raksasa. Pertumbuhan ekonomi nasional mungkin tampak meningkat, tetapi di balik itu daerah-daerah kehilangan daya ungkitnya, dan kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah makin melebar.

Pembangunan nasional tidak boleh berhenti di Jakarta atau kota-kota besar. Ia harus berdenyut di seluruh pelosok negeri, dan denyut itu selama ini dijaga oleh BPD. Melemahkan BPD sama dengan mematikan simpul ekonomi lokal, mengikis kemandirian fiskal daerah, dan menggerus keadilan ekonomi yang sesungguhnya. Karena itu, kebijakan dana Rp200 triliun perlu ditinjau ulang agar tidak menjadi bumerang yang justru melumpuhkan ekonomi daerah dari dalam.(*) 

Share Berita

 Login CMS  Simpanan  Pinjaman  Promo  Simulasi Angsuran  Pengaduan